
KARAWANG, RAKA - Derasnya ancaman alih fungsi lahan teknis menjadi kawasan pemukiman dan industri dikhawatirkan akan mengakibatkan Karawang kehilangan imej lumbung padi. Karena itu perlu segera dilakukan tinjau ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Seperti diinformasikan, dalam kurun 18 tahun, yaitu antara tahun 1989 dan 2007, berdasarkan data dari Dinas Pertanian Karawang, alih fungsi lahan mencapai 2.578 hektar atau 135,6 hektar per tahun. Alih fungsi terbesar adalah untuk permukiman, yaitu 54 persen, dan sekitar 34 persen untuk industri. Angka itu diprediksi meningkat seiring berkembangnya sektor industri di Karawang. Apalagi, dari total 11.917 hektar lahan yang disiapkan untuk industri, baru sekitar 5.393 hektar yang terbangun.
Melihat kondisi tersebut, Ketua DPRD Karawang, Karda Wiranata mengatakan, apabila merugikan petani pihaknya akan meninjau ulang kembali aturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karawang. "Hal ini harus kita evaluasi, jangan sampai para petani kita kehidupannya terancam," katanya, Kamis (29/4) siang.
Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Karawang, Abdul Arif mengatakan, baik lembaga legislatif dan eksekutif harus bertanggung jawab dengan banyaknya lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi perumahan dan industri. Kawasan-kawasan pertanian seperti Kecamatan Rengasdengklok, Klari, Cilamaya, Jatisari, dan Cikampek yang seharusnya dipertahankan menjadi kawasan pertanian, kini sudah banyak berkurang.
"Pemerintah seharusnya jangan seenaknya memberikan ijin kepada pengembang untuk membangun perumahan di kawasan tersebut," katanya. Akibat aturan RTRW yang tidak melindungi kawasan pertanian, menurut Abdul Arif, lambat laut lahan pertanian di Karawang akan punah. "Kalau dibiarkan terus akan mengancam lahan pertanian di Karawang," tandasnya.
Anggota Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat, Ijam Sujana menyebutkan, petani yang lahannya kurang dari lima hektar mudah melepas lahannya untuk dijual dengan harga mahal. Mereka, lalu mencari lahan lain yang lebih murah. "Tapi jarang yang bisa mendapatkan lahan pengganti dengan harga murah. Mereka pun akhirnya menjadi petani penggarap karena tidak memiliki lahan lagi," ucapnya.
Meskipun Karawang disebut sebagai lumbung padi, namun ternyata kekayaan padi yang dimiliki tidak mampu membuat kaum tani ikut merasakan kenikmatan yang diperoleh dari hasil keringatnya. Seperti yang dikatakan oleh, Ketua Front Pembela buruh dan Tani (FPBT) Havid Ridwan, meski sebagian besar rakyat Karawang berprofesi sebagai buruh tani, namun tidak semua buruh tani bisa merasakan hasil garapannya.
"Kita lihat bagaimana kehidupan yang dilakoni oleh buruh tani sungguh sangat miskin, baik miskin secara ekonomi maupun secara intelektual. Hal itulah yang membuat saya miris, ditambah lagi hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan yang mereka keluarkan," ujarnya.
Ia menganggap, kepunahan lahan pertanian yang mulai terlihat disepanjang Jalur lingkar sangat merugikan petani. Menurutnya, hampir seluruh warga yang tinggal disepanjang Jalur lingkar, mengandalkan lahan pertanian untuk menyambung hidup. "Bertani adalah satu-satunya keahlian petani. Yang saya tahu, petani penggarap disana ada sekitar lebih seratus orang. Apabila lahan pertanian menjadi hilang, mau makan apa mereka. Pada saat musim kemarau saja banyak yang mengaggur, "katanya.
Sementara itu Ketua Serikat Petani Karawang (SEPETAK), Deden Sopyan mengatakan, UUPA tahun 1960 tentang reforma agraria yang sampai saat ini tidak dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah, membuat kehidupan buruh tani semakin terperosok. Menurut dia kondisi tersebut di perparah dengan naiknya harga pupuk. Selain persoalan-persoalan yang kini di hadapi petani, buruh, dan kaum miskin kota yang tidak lepas dari lemahnya pemerintah melaksanakan uu, memperburuk kondisi kehidupan kaum pekerja tersebut. (psn)